Maaf Memaafkan dan Silaturahmi  

Posted by: rika.tralala

QS 3:134 menyebut tanda-tanda orang bertaqwa. Di sana dikemukakan tiga langkah yang dianjurkan bagi mereka yang dilukai hatinya atau diperlakukan tidak wajar sehingga mengundang amarahnya.

Langkah pertama adalah menahan amarah. Tujuannya agar yang bersangkutan berfikir dan menjawab beberapa pertanyaan berikut: Apakah perlakuan itu wajar mengundang amarah? Jika wajar, apakah sasaran yang ingin ditujukan amarah kepadanya sudah tepat? Siapa tahu bukan dia! Kalau sudah tepat sasarannya apakah sudah tepat tempat dan waktunya? Kalau sudah tepat, maka pertanyaan berikutnya adalah sebatas apa amarah ditumpahkan? Ini agar tak melebihi porsi yang seharusnya. Agaknya dengan berfikir demikian, amarah yang tadinya di dalam dada akan mereda sehingga tidak perlu tertumpah.




Perlu dicatat bahwa ayat di atas tidak melarang amarah. Terkadang amarah diperlukan karena jika dipendam dapat menimbulkan kerugian serta pengaruh negatif pada jiwa manusia.

Langkah kedua yang dianjurkan ayat di atas adalah memaafkan. Ini karena, kendati amarah tidak terlampiaskan - pada langkah pertama di atas - namun masih mungkin perlakuan tidak wajar tetap saja bertahan di dalam hati. Nah di sinilah perlunya maaf. Maaf dari segi bahasa berarti menghapus yakni menghapus bekas-bekas luka di hati. Itu dapat terlaksana jika yang dilukai hatinya menyadari bahwa membalas dengan cara yang kurang tepat, bukan saja melanggengkan permusuhan, tetapi juga hanya memuaskan nafsu. Sebaliknya memaafkan bukan saja menyingkirkan ganjalan hati yang menimbulkan gerutu dan menghambat aktivitas tapi juga menanam budi di dunia serta ganjaran yang amat besar di akhirat, jauh melebihi perolehan hak akibat menuntutnya di pengadilan Ilahi. Harus diingat bahwa ‘menghapus’ itu menjadikan seseorang tidak mengingat-ingatnya lagi. Tidak berkata “Aku memaafkan, tapi tidak kulupakan.”

Langkah ketiga adalah berbuat baik terhadap yang pernah bersalah itu. Ini karena dengan memaafkan saja seseorang akan dapat berkata, “Silakan tempuh jalanmu dan aku pun menempuh jalanku.” Ini tidak mengundang hadirnya teman, padahal alangkah indahnya hidup berteman. Dengan langkah ketiga ini lahir makna sesungguhnya dari shilaturrahim. Shilat antara lain berarti menyambung dan pemberian hadiah. Apa pun makna yang dikandungnya adalah menyambung hubungan kasih sayang. Tentu saja yang disambung adalah yang putus. Begitu penjelasan Nabi Saw, karena itu “Bukanlah ber-shilaturrahim siapa yang menjalin hubungan yang telah terbangun, tetapi ia adalah menjalin hubungan yang putus.” [HR Bukhari]. Silaturahmi menuntut adanya komunikasi, jalinan hubungan, bahkan network. Menyambungnya dengan memberi hadiah atau paling tidak, berkunjung dan menyapa dengan baik secara langsung atau melalui alat komunikasi. Memang bentuknya dapat beragam - bahkan bertingkat – namun, kesimpulan dan tujuan akhirnya adalah pencairan yang beku dan penghangatan yang dingin sehingga menghasilkan keharmonisan hubungan dan mempererat kekuatannya.

Bila terjalin hubungan harmonis antarkeluarga, maka keharmonisan itu akan merambat ke keluarga yang lain sehingga pada gilirannya mewujudkan masyarakat harmonis. Silaturahmi yang menghasilkan hubungan harmonis itu, mencegah timbulnya ketegangan fikiran yang merupakan salah satu penyebab kematian. Ia melahirkan ketenangan yang merupakan syarat bagi kecerahan pikiran untuk lebih berkonsenterasi dalam pekerjaan dan ini dapat melipat gandakan penghasilan. Itulah yang dimaksud oleh sabda Nabi Saw, “Siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang umurnya, maka hendaklah ia ber-shilaturrahim.” [HR Bukhari]. Demikian. Wa Allah A’lam


Read More…

This entry was posted on 22.47 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar